<body>




















hello hello hello~!
Please support Dorkistic Design by promoting our site and feel free to request from us if you need any custom blogskin. Have a nice day!

profile
Profile. Likes / dislikes, all here (^^) bold, underline, italic, colours, strikethrough, ♣ clubs, ♥ hearts

Music etc.

extra
Extra for sidebar area only. Copy and paste to add more details

extra
Extra for sidebar area only. Copy and paste to add more details

tagboard

Get your CBOX here.

archives
links

disclaimer
layout.dorkistic
image.photobucket
host.blogger



















<$BlogItemTitle$>

<$Xanga_Posts$>



<$BlogItemCommentCount$> Comments


Comments:


<$BlogCommentBody$>
<$BlogCommentDeleteIcon$>
<$BlogItemCreate$>


<$Xanga_Date$> : Date




© Dorkistic Nana | Dorkistic Design™ 2009

-->

Tuesday, December 28, 2010

Salah

Pagi yang cerah membuatku bangun lebih cepat. Aku ingin bergegas bangun dan siap-siap pergi ke sekolah baruku. 3 hari berturut-turut aku harus datang sepagi ini untuk mengikuti kegiatan MOS(Masa Orientasi Sekolah), tapi hari ini berbeda. Hari ini jam masuk dan jadwal pelaran sudah normal. Tapi, saat aku terdiam sejenak di kasurku yang empuk itu, aku merasakan sesuatu hal yang buruk sepertinya akan terjadi. Aku jadi takut,tapi…

“Nicky!! Kau sudah bangun tidak? Cepat mandi, sholat, lalu siapkan bekalmu sendiri!”, suara ibu membuatku tersadar dari lamunan dan cepat-cepat mengikuti perintah ibuku. Tapi, sebelum itu, tentu saja aku harus membalas sahutan ibuku terlebih dahulu sebelum beliau teriak untuk kedua kalinya.

“Iya,bu! Ini baru mau mandi!”, aku langsung bangun dan membereskan tempat tidur lalu berlari secepat mungkin ke dalam kamar mandi.

*****

Aku pun merapikan pakaian dan menuju dapur untuk menyiapkan bekalku.

“Ibu, lauknya apa?”, tanyaku.

“Itu ada ayam. Cepat ambil dan berangkat. Nanti kamu terlambat.”, ucap ibuku.

“Baik, bu”, aku meraih tangan ibuku dan menciumnya, lalu berangkat dengan motor kesayanganku yang berwarna abu-abu itu.

Karena masih pagi, aku pun dengan tenang mengendarai motorku menyusuri jalan. Akhirnya, aku bisa mengendarai motor ke sekolah lagi setelah sekian lama, karena saat MOS, murid kelas X tidak di perbolehkan membawa motor sendiri.

Aku masuk ke dalam kelas dan memperhatikan sekelilingku. Tidak ada yang berubah dari saat MOS. Aku pikir, semua kelas X akan di acak lagi saat setelah MOS. Aku pun memilih duduk ke tempat dudukku saat MOS, karena tepat berada di bawah kipas. Tapi, ada seorang laki-laki yang sudah menduduki tempat itu, Dani namanya. Aku pun ingin memilih tempat lain, tapi saat ku tanyakan ke teman-teman perempuanku yang belum mendapat teman sebangku, mereka bilang “Maaf, aku menjagakan tempat temanku”. Aku mulai kebingungan. Yah, memang menderita berasal dari sekolah yang berbeda sendirian.

“Nicky?”, aku terkejut mendengar seseorang memanggilku di tengah lamunanku. Aku pun langsung mencari sosok yang memanggilku itu. Ternyata Dani.

“Duduk saja di sini, kau ingin di sini kan? Aku hanya mengincar kipas yang di atas itu saja, kok. Karena aku orangnya gampang keringatan.”, ucapnya sambil menunjuk kipas yang ada di langit-langit itu.

“Ah, tapi, apa tidak apa-apa? Aku tidak ingin mengganggumu.”, aku menjawab dengan nada senggan. Aku belum pernah duduk dengan laki-laki, jadi aku tidak berani.

“Yah, tidak masalah. Kau belum dapat tempat duduk kan? Sebentar lagi bel, nanti kau malah tidak bisa duduk sama sekali. Kau mau guru menertawakanmu yang berdiri lama karena tidak dapat tempat duduk? Lagipula, aku tidak akan menyerangmu, kok.”, ucapnya sambil tertawa, “Bercanda, bercada, hahaha..”

Aku pun dengan cepat membalas asal, “Aku tidak takut, kok! Aku cuma takut tidak bisa mengimbangi keusilanmu itu!”, sambil menunjukkan lidahku.

“Hahaha, aku hanya bercanda. Kau lucu, ya! Sepertinya bakal asik duduk denganmu! Hahaha”, dia kembali ke tempat duduk dengan masih dalam keadaan tertawa.

“Huh”, aku menjawabnya dengan nada ketus.

Bel berbunyi, aku pun langsung duduk ke tempat duduk yang sebenarnya sangat kusayangi tapi jadi agak jenuh karena ada Dani di sampingku.

*****

Saat istirahat kedua.

“Hei Nicky, kenapa dari tadi kau diam saja?”, Dani bertanya padaku yang dari tadi hanya diam saja.

“Tidak. Tidak ada apa-apa.”, aku yang memang tidak terlalu banyak bicara ini hanya bisa memaklumi, karena dia baru saja sekelas denganku.

“Tapi… kau terlihat seperti tidak berada di sini. Maksudku, pikiranmu seperti menerawang jauh ke luar sana. Ada apa?”, dia melanjutkan pertanyaannya.

“Tidak ada apa-apa, kok. Aku memang tidak bisa banyak bicara. Kecuali aku tau apa yang sedang orang lain bicarakan. Atau, kalau ada yang bertanya padaku seperti kau ini.”, aku menjawab seadanya.

“Ho, begitu. Ya sudah, kalau begitu, aku lanjut bertanya saja, ya. Daripada kau diam seperti orang tak bernyawa.”, candanya sambil tertawa.

“Ish, maksudmu, aku seperti orang mati, begitu?”

“Yup, benar sekali. Hahaha.”

“Yah,terserahlah. Aku tidak terlalu peduli.”

“Hahaha, ngambek dianya! Bercanda, kok!”, ucapnya sambil mengelus kepalaku. Aku memang sedikit terkejut. Tapi, aku hanya diam. Karena aku pikir mungkin memang begitulah sifatnya.

“Oya, nama panggilanmu memang Nicky?”, lanjutnya.

“Tidak, terkadang di rumah aku hanya di panggil Nick. Waktu SMP juga begitu, teman-temanku lebih suka memanggilku Nick karena kata mereka lebih pendek dan mudah di ingat.”

“Wah, seperti laki-laki.”

“Begitulah. Aku sendiri tak tau kenapa bisa begitu.”

“Ho, kalau aku, panggilanku Key.”, aku terkejut mendengar hal itu. Bukan karena nama panggilannya yang terkesan jauh dari nama aslinya itu, tapi karena kenapa tiba-tiba dia membicarakan hal yang sebenarnya tidak di pertanyakan. Aku hanya bisa pura-pura terkejut dan berusaha untuk menutupi sifat ketidakpedulianku itu dengan bertanya hal yang menurutku wajar untuk dipertanyakan.

“Kenapa bisa begitu? Namamu Dani kan? Kok, panggilannya… Key?”, aku mencoba bersikap sewajar mungkin.

“Hahaha, kau kaget kan?? Itu karena aku pintar.”

“Apa hubungannya?”

“Pintar memecahkan berbagai masalah. Kunci, membuka setiap pintu masalah. Seperti detektif begitu.”, ucapnya bangga.

“Haah? Dasar aneh kau!”

“Loh, aku serius!”, ucapnya lagi dengan nada meyakinkan.

“Yah, terserahmu sajalah. Key kan? Oke, Key.”, ucapku sambil mengancungkan jempolku tanda setuju.

“TENG! TENG!”, bel sudah berbunyi lagi. Guru fisikaku langsung memasuki ruang kelas yang masih ramai dan langsung menyuruh seluruh murid mengeluarkan bukunya dan dengan cepat mulai menjelaskan bab yang akan di bahas. “Sangat tepat waktu”, pikirku.

*****

Satu minggu telah berlalu. Aku seperti biasa, berdiam diri di kelas. Ada sedikit kemajuan, aku mulai jalan-jalan keluar kelas untuk berbelanja makanan atau minuman. Tapi, hanya ketika aku benar-benar menginginkannya. Sepulang sekolah, pun aku selalu langsung pergi ke parkiran sekolah untuk mengambil motorku dan langsung pulang ke rumah. Entah kenapa, terus tinggal di sekolah seperti teman-temanku yang lain terasa aneh buatku. Aku hanya berpikir, sepertinya tidak terlalu menyenangkan, karena aku tidak mengerti apa yang temanku bicarakan. Yah, mungkin karena aku terlampau mencintai Jepang dan hanya terus-terusan di kamar untuk surfing, mencari hal-hal yang berhubungan dengan Korea dan boyband favoritku, Super Junior (Suju), melalui internet.

Setelah dua minggu, aku pikir semua akan tetap sama. Tapi kali ini berbeda. Aku merasa seperti dijauhi oleh teman-temanku. Terkadang, kalau diam aku masih sering di tegur oleh temanku. Kali ini berbeda. Mereka semua mengacuhkan. Termasuk teman sebangkuku, Key. Aku jadi semakin tidak tahan di kelas. Tapi aku tidak bisa keluar, karena aku tidak tau akan kemana jika keluar dari ruang kelas. Tidak mungkin aku berdiam lama-lama di kantin, batinku. Aku pun hanya bisa terlarut. Aku tidak tau mau melakukan apa. Akhirnya aku semakin diam dan hanya membuka handphone-ku untuk mendengarkan lagu-lagu kesukaanku. Itu juga untuk menenangkan pikiran agar tidak terlalu berpikiran buruk dengan teman-temanku. Tapi tentu saja melalui headset.

*****

Setelah aku sering hanya mendengarkan lagu, entah kenapa Key mulai menyapaku lagi. Aku tak tau tujuannya, tapi aku hanya bisa menjaga jarak agar tidak terlalu akrab. Karena, aku takut setelah akrab dia tidak akan mengajakku berbicara lagi.

“Kau sedang mendengarkan apa? Dari kemarin-kemarin kau hanya mendengar sesuatu dari balik headset-mu itu.”, tanyanya setengah keheranan.

“Mendengarkan lagu saja, tidak ada lagi yang lain.”, ucapku seadanya.

“Lagu apa? Rasanya aku tidak pernah melihatmu menyanyikan satu lagu pun. Biasanya orang akan berekspresi dengan menyanyikan lirik lagu yang sedang di dengarkannya meskipun tanpa suara.”

“Aku memang tidak pernah melakukannya,kok.”

“Jadi, boleh aku tau, lagu apa yang sedang kau dengarkan?”

“Lagu Miracle.”

“Hah? Lagu apa itu? Aku tak pernah tau kalau ada judul lagu itu dari band dalam negeri. Barat juga tidak pernah.”

“Sepertinya memang, karena ini bukan lagu Indonesia ataupun lagu barat.”

“Lalu? Lagu dari negeri mana? Nama penyanyinya?”

“Korea, Suju.”

“Hoo, Korea. Pantas saja aku tidak pernah dengar. Siapa? Siapa? Suju?”

“Yup, Suju. Itu singkatan dari nama Super Junior.”

“Ho, Super Junior. Bagus tidak lagu-lagunya?” tanyanya lagi.

“Tentu sajalah! Kalau tidak bagus, untuk apa aku suka?”, ucapku agak ketus. Aku agak kesal dengan pertanyaannya yang seperti meremehkan lagu Korea. Padahal agu-lagu Korea itu jauh lebih bagus dari lagu-lagu band Indonesia yang kebanyakan hanya meniru lagu luar.

“Ho, minta dong lagu-lagunya! Video klipnya juga! Aku pingin coba dengar. Mungkin bisa membuatku menarik.”, ucapnya dengan tenang. Sepertinya dia tidak menyadari nada bicaraku yang tadi sedang agak kesal.

“Mana flashdisk-mu? Sini ku copy-kan, mumpung aku sedang bawa laptop.”

“Wah, Nicky baik!!”, ucapnya gembira.

Aku berikan saja semua video dan lagu-lagu yang ku punya. Toh, dia bilang pingin.

*****

Keesokannya. Baru aku hendak melangkahkan kakiku ke dalam kelas…

“NICK!!”, panggilnya dengan penuh semangat.

“A… apa?”, tanyaku keheranan. Sedang apa anak ini memanggilku dari depan kelas. Ah, aku langsung melihat seisi kelas. Yang aku bingungkan adalah pandangan teman-teman cewekku di kelas. Mereka semua melihatku dengan tatapan sinis.

“Ayo cepat sini!”, ujarnya sambil menarikku ke tempat duduk.

“Ada apa?”

“Ini, nih! Video ini!”

“Ada apa dengan video ini? Rusak??”, tanyaku bingung.

“Bukan, bukan. Ini, sebentar dulu, ya.”

Dia pun menyetel salah satu video klip Suju yang kuberikan kemarin. “It’s You”, batinku.

“Ini, yang ini!”, ucapnya kembali dengan penuh semangat sambil menunjuk salah satu member Suju favoritku, Eunhyuk.

“Ada apa dengan Eunhyuk?”, tanyaku agak penasaran.

“Oh, Eunhyuk ya namanya? Aku suka dia! Dance-nya keren!”

“Memang.”, ucapku simple. Padahal aku kaget, kenapa dia bisa menyukai member yang sama dengan yang kusukai.

*****

Hari berlanjut, aku semakin akrab dengan Key karena dia sering menanyakan banyak hal tentang Suju. Aku pun menjawabnya karena aku memang tau. Lagipula, aku suka berbagi informasi dengan orang lain tentang Suju. Tapi, perasaanku semakin tidak enak karena tatapan seluruh teman cewek yang ada di kelas seperti mengintaiku. Tapi aku hanya bisa mengabaikannya karena aku tak tau maksud dari pandangan itu.

Setelah sekian lama, akhirnya ada lagi yang mulai menyapaku. Yang aku bingung, dia teman sekelasku yang cewek! Aku jadi takut… karena selama ini mereka seperti membenciku.

“Hai.”, sapanya.

“Hai juga.”, aku berusaha menutupi ketakukanku dengan senyum.

“Aku sepertinya bernasib sama denganmu.”, aku agak terkejut mendengar itu.

“Bernasib sama? Mananya?”, tanyaku keheranan.

“Aku di jauhi.”, ucapnya singkat. Hah? Aku berusaha mengingat sesuatu hal yang janggal dengan melihat seisi kelas. Oya, aku pernah melihatnya berbincang dengan yang lain, kalau tidak salah namanya Sisca. Tapi sepertinya belakangan ini mereka memang tidak terlihat akrab lagi.

“Kok bisa?”

“Aku juga tidak bisa membaur. Aku hanya sering akrab dengan mereka kalau mereka membicarakan hal-hal yang ku upload melalui situs jejaring sosial seperti facebook, blogger dan twitter saja.”, keluhnya.

Aku tidak mengetahui apa-apa tentang itu, jadi aku hanya bisa menepuk pundaknya untuk membuatnya kembali semangat.

“Terima kasih, ya. Oya, kau mau jadi temanku tidak?”, ucapnya lagi.

“Terserah saja.”

“Wah, kau ternyata memang tipe orang yang tidak begitu mempedulikan hal-hal kecil,ya.”

“Mm, begitulah.”, balasku sambil mengangguk ringan.

*****

Aku dan Sisca semakin akrab. Aku sendiri tak tau kenapa. Dia sering datang padaku dan menceritakan berbagai macam hal yang terjadi. Aku hanya berusaha untuk menjadi pendengar sebaik mungkin dan juga menjadi sahabat yang tidak akan mengacuhkan temannya sendiri.

Suatu hari.

“Nick, kau pernah tidak merasakan hal aneh kalau sedang di kelas.”, aku sangat terkejut dengan pertanyaannya kali ini. Biasanya dia menanyakan pendapatku tentang hal-hal di luar kelas.

“Kenapa memangnya?”

“Pernah tidak?”

“Mm… pernah, sih…”

“Seperti apa anehnya?”

“Mm… ketika aku sedang bersama Key, a..”, belum aku menyelesaikan satu kata, dia sudah memotongnya.

“Hah? Key? Siapa itu?”, tanyanya keheranan.

“Ah,lain. Maksudku, saat aku bersama Dani, aku merasa sepertinya seisi kelas menatapku dengan tatapan sinis.”

“Itu karena mereka kan sangat akrab, lalu salah seorang di antara mereka ada yang menyukai Dani dan karena itu mereka jadi menatapmu seperti itu agar kau menyadari hal itu dan menjauhi Dani. Tapi, kau malah semakin akrab dengannya, bahkan mereka pikir kalian jadian. Apa benar, kalian jadian?”, aku sangat terkejut mendengar jawaban itu. Aku tidak menyangka mereka samai berpikiran seperti itu. Padahal aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya!

“Nick? Apa benar?”, tanyanya lagi karena aku tidak juga menjawabnya.

“Ah… tidak!”, jawabku tegas.

“Bener, nih? Kok kalian akrab banget kayaknya?”

“Nggak… itu cuma karena dia kebetulan tertarik dengan boyband yang kusukai.”

“Oh… pantas saja.”, pantas saja? Apa maksudnya itu?

*****

Sejak hari itu, entah kenapa sepertinya Sisca mendekati Key. Dia sangat manja pada Key. Aku jadi bingung, aku seperti di gusur dari tempat dudukku sendiri. Karena aku tak mungkin duduk di tempat yang lain, aku pun memilih duduk di lantai tepat di samping kursiku. Tapi, karena takut mengganggu mereka yang seperti sedang berpacaran itu, aku pun agak sedikit mundur dari tempat semula.

Untungnya, mereka hanya berdekatan saat istirahat. Aku pikir aku akan benar-benar kehilangan tempat duduk. Tapi, entah kenapa saat di tengah pelajaran, Key malah usil menggangguku. Terkadang dia iseng menyenggolku. Lalu, mencubitku, hingga mengelus kepalaku. Aku sangat heran dengan tingkah lakunya itu. “Apa yang dia inginkan dariku?”, benakku.

Jam istirahat kedua.

“Daniii~”, begitulah Sisca memanggil Key. Dengan nada manja. Aku terkadang merasa aneh dengan panggilan itu. “Mungkin karena aku terbiasa memanggilnya Key? “, pikirku. Tapi, seingatku aku sangat jarang memanggilnya. Bahkan hampir setiap hari dia yang memanggilku, hingga aku hanya menyambung pembicaraan yang dia buat.

*****

Mereka duduk… di tempatku. Lagi? “Kenapa mereka tidak duduk di luar kelas saja?”, lagi-lagi benakku bertanya tanpa ada jawabannya.

“Haaah~”, aku menghela nafas untuk menenangkan diri.

“Nick!”, hah, dia lagi.

“Ada apa Key?”, jawabku sedikit malas.

“Wah!! Tumben kau menyebut namaku!! Senangnya!!”, yah, memang baru kali ini aku menyebutnya.

“Iya,iya. Ada apa, sih?”, tanyaku lagi.

“Liat, Liat!”, dia menggerakkan badannya untuk mengikuti gerakan dance Suju. Aku memang tau, tapi sengaja iseng ingin menggodanya sedikit dengar bertanya sok polos.

“Hah? Sedang apa kau?”

“Ini gerakan dance lagu It’s You! Masa kau tak tau??”

“Hah? It’s You? Itu tadi? Jelek sekali gerakanmu! Jelas saja aku tidak menyadarinya!”, ucapku bercanda.

“Nyaa! Aku sudah berusaha menghapalnya tau!”

“Loh, memangnya ada yang menyuruh? Tidak, kan?”, godaku lagi

“Memang tidak, sih. Tapi aku mau!”

“Sudahlah, badanmu itu kaku! Tidak cocok untuk menari!”, ucapanku kali ini mungkin menyakitkan. Tapi memang begitulah keadaannya.

“Ya sudah, deh. Aku menyerah saja.”, ucapnya sedikit kecewa.

*****

“Nick!”, lagi-lagi dia memanggilku. Kenapa dia tidak memanggil Sisca saja??

“NICK!”, panggilnya lagi.

“Iya, apa?”

“Bantu aku mengerjakan ini, ya? Please…”, ujarnya sambil menunjuk salah satu soal matematika yang ada di buku paket.

“Kerjakan saja sendiri.”

“Aku tidak mengerti. Kau jelaskan dulu kalau begitu. Ya? Ya?”

“Minta Sisca saja sana. Dia pacarmu, kan?”, aaaaaaaah!! Bodohnya! Kenapa aku keceplosan meluapkan emosiku?? Pasti sekarang dia sedang berpikir yang tidak-tidak!

“Hah? Oya! Sebentar, aku tanya dia dulu, ya!”, dia pun pergi ke bangku Sisca. “Bodohnya diriku!”, benakku.

*****

Sepulang sekolah, aku langsung masuk kamar.

“Aaah! Apa yang ku lakukan tadi?? Kenapa bisa keceplosan begitu???!!”, ku teriakkan segala yang ada di pikiranku sambil melemparkan tas ke kasur.

“Nicky! Ada rebut-ribut apa itu?”, ibuku berteriak dari dapur yang berada di lantai satu.

“Ah, tidak ada apa-apa, bu!”, balasku.

Karena takut berteriak lagi, aku langsung menempati meja belajarku dan membuka laptop untuk mencari penyegaran. Aku memasang headphone hitam yang di hadiahkan ibu itu agar aku bisa mendengarkan lagu dari laptop-ku sekeras mungkin dan agar tidak akan ada yang terganggu dengan lagu yang ku setel itu.

Aku mulai menyalakan lagu Dancing Out. Daftar lagu sengaja ku acak agar aku bisa menebak sendiri lagu yang sedang ku dengarkan. Lalu setelah itu ada lagu Blue Tomorrow. Seperti biasa, air mataku langsung menetes saat mendengar lagu itu. Arti dari lagu itu sangat menyentuh.

“Ketika itu besok, kau akan meninggalkanku

Ketika itu besok, aku akan berharap pada bintang jatuh sendirian

Seperti akhir sebuah film

Akhir hubungan kita memenuhi prediksi penuh dengan air mata”

Aku langsung tersentak saat mengingat lirik itu. Entah kenapa, aku berubah menjadi khawatir. Ada apa denganku? Baru kali ini aku merasa seperti ini. Merasa akan kehilangan seseorang. Tapi siapa?

*****

Aku berjalan di koridor sekolah menuju kelasku. Aku masih memikirkan hal kemarin. Akan kehilangan seseorang? Siapa?

“Nick!”, Key, seperti biasa memanggilku setiap pagi lalu melihat seluruh keadaanku. Seperti tidak akan melihatku di keesokan hari saja.

“Kenapa?”

“Tidak. Ayo kita masuk!”, ucapnya riang.

*****

“TENG! TENG!”, bel pulangan. Entah kenapa, hari ini rasanya lebih lelah dari biasanya. Karena itu, aku memilih untuk berdiam diri dulu di sekolah.

“Dani~”, panggil Sisca dengan manja.

“Ada apa Sis?”, ucap Key.

“Aku mau nunjukkin kamu sesuatu, ini!”, aku melihat Sisca menyerahkan secarik surat kepada Key. “Surat apa itu?”, benakku. Sepertinya itu surat cinta.

“Jadi bagaimana? Kau mau?”, tanya Sisca sekali lagi pada Key. “DEG!”, hah? Apa ini? Jantungku berdegup sangat kencang. Tapi sakit. Sangat sakit. Apa aku menyukai Key??

“Aku…”, Key terlihat agak bingung mencari jawabannya. Tapi, aku tidak ingin dengar! Lebih baik aku pulang! Aku pun langsung mengambil jaket dan tasku dan langsung pergi keluar kelas untuk pergi menuju ke parkiran. Namun, belum sampai keluar kelas, Key memanggilku.

“Nick!”, entah untuk apa dia memanggilku, tapi aku langsung menoleh saja ke arah Key.

“Apa?”

“Kau sudah mau pulang?”

“Iya. Kenapa memangnya?”

“Ehm, bisa bicara sebentar? Aku ingin merundingkan sesuatu denganmu. Ah, tidak. Maksudku bertiga dengan Sisca juga.”, “DEG!”, lagi? Sepertinya berbahaya kalau aku ikut. Tapi…

“Mau merundingkan apa? ”

“Ada, deh pokoknya. Temani aku saja dulu.”

“Hah? Temani? Memang mau bicara dimana? Bukannya disini bisa?”

“Tidak bisa. Aku takut kalau nanti yang lain tiba-tiba masuk dan mendengar semuanya.”

“Lalu?”

“Sudahlah, ikut saja ya, dulu?”, mohonnya lagi.

“Ya, sudah. Terserah. Tapi cepat, aku tidak punya banyak waktu.”, ucapku bohong. Padahal aku tidak melakukan apa-apa di rumah.

*****

Di Café.

“Nick, begini, aku ingin merundingkan suatu masalah denganmu dan Sisca…”

“Lalu?”

“Tapi aku bingung mau memulainya dari mana…”

“Sudahlah, kalau mau ngomong, ya ngomong saja.”, ucapku tak sabar.

“Sis, aku ingin kamu…”, belum sempat Key menyelesaikan kalimatnya, aku langsung memotongnya karena aku takut dia akan mengatakan hal yang paling ku takutkan. Kalau dia menyukai Sisca.

“Ma’af, aku ada keperluan. Aku harus pulang sekarang.”, ucapku bohong lagi.

“Tapi, Nick…”

“Ma’af, tapi ini keperluan mendesak”, ucapku sambil pergi meninggalkan Key dan Sisca yang kebingungan.

Aku takut. Aku tak mau mendengarnya. Biar saja mereka melakukan semaunya, tapi tanpa kuketahui. “Aku tak mau tau!” kesalku. Setelah di parkiran café, aku langsung menancap gas motorku tanpa tau jalan. Aku lupa, aku harus berbalik arah. Setelah aku memastikan tidak ada apa-apa di belakangku melalui spion, aku pun langsung memutar tanpa tau apa-apa. Ternyata…

BRAK!!!!!!!

*****

“Gelap… di mana ini?“, aku pergi ke sekelilingku, mencari cahaya. Tapi yang ku lihat hanya hitam, gelap. Aku mulai ketakutan. Aku berlari tanpa tau arah. Setelah lelah, aku pun melihat sedikit cahaya di ujung sana. Aku pun berlari sekuat tenaga menuju cahaya itu. Aku sudah lelah berada dalam kegelapan! Aku ingin kembali!

Pats!

“Silau!”, hanya kata itu yang keluar saat aku membuka mataku. Aku pun berusaha duduk untuk melihat apa yang ada di sekelilingku. Tapi… kepalaku terlalu pusing untuk duduk. Aku pun dengan cepat kembali ke keadaan semula agar tidak membuat kepalaku semakin sakit, jadi aku tidak sempat memperhatikan sekelilingku. Aku pun hanya bisa melihat atap putih yang membuatku bingung. Tapi, kepalaku mulai sakit lagi. Aku pun mengabaikan kebingunganku dan cepat tidur. Tapi, baru aku ingin memejamkan mataku, seseorang menyebut namaku dengan pelan dan sedikit berbisik…

“Nick…”, aku pun tersentak.

“Nicky…”, hah? Lagi? Aku pun langsung bangun dan dengan cepat duduk. Alhasil, kepalaku pun kumat lagi. Tapi aku tidak peduli. Aku langsung mencari sosok orang yang menyebut namaku itu. Aku sangat terkejut saat melihat Key yang berada di sampingku tertidur dan menggenggam tanganku ini sambil menyebut namaku.

“Apa yang terjadi hingga dia menjadi seperti ini? Apa yang membuatnya berubah? Apa karena kecelakaan itu?”, benakku bertanya-tanya.

Takut akan membangunkannya, aku pun hanya memandangi wajah tampannya yang selama ini sangat ku rindukan. Aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi padanya. Selama ini kupikir dia menyukai Sisca. Tapi… tidak! Mungkin dia disini karena dia berada di café dekat tempatku kecelakaan.

“Nicky?”, aku tersadar dari lamunanku. Aku melihat Key yang sudah terbangun.

“Ah, hai K…”, belum sempat aku selesai, Key langsung memelukku.

“Aku lega kau sudah bangun! Tidak sadarkah kalau kau sudah tertidur selama 3 hari!?”, ucapnya.

“Hah? Separah itukah? Memang aku menabrak apa kemarin itu?”

“Itu bukan kemarin! Itu 4 hari yang lalu! Kau tertabrak truk! Untung saja truk itu langsung berhenti tepat sebelum melindas kepalamu! Setelah itu kau langsung di operasi selama 20 jam dan berada dalam keadaan koma selama 3 hari! Kau sangat membuatku sangat cemas, tau!”, aku mendorongnya untuk melepaskan pelukannya. Aku baru ingat, dia dan Sisca sudah…

“Ada apa, Nick?”

“Dimana Sisca?”

“Hah? Apa hubungannya?”

“Kalian sudah pacaran kan? Sejak aku keluar dari café.”

“Hah? Tidak! Aku… aku tidak suka padanya. Yang sebenarnya ingin ku rundingkan waktu itu adalah kebohongan Sisca padamu.”

“Hah?”, aku sangat terkejut mendengar itu. Sampai-sampai aku ingin menangis. Aku pikir dia berbeda dari teman-teman yang lain. Key yang melihatku berkaca-kaca langsung mengelus kepalaku dengan lembut.

“Dia bilang dia di jauhi? Padahal dialah yang merencanakan semuanya. Dia yang menyukaiku, bukan orang lain. Dialah yang memanas-manasi teman yang lain untuk membencimu. Dia begitu agar kau menjauhiku, padahal akulah yang mengakrabkan diri padamu. Dia mendekatimu agar dia bisa akrab denganku. Pertama aku pikir dia memang anak yang sangat manja, tapi memiliki sifat yang baik. Setelah aku tau semuanya, ternyata dia sangat licik. Aku sangat membenci orang yang seperti itu!”, aku hanya bisa membelalakkan mataku pertanda kaget.

“DEG!” haah!? Kenapa di saat seperti ini??

“Nick…”

“Ya?”, ucapku sedikit kaget.

“Aku menyukaimu sejak dulu. Sejak kita mulai berteman. Aku pikir kau anak yang terlalu pendiam, tapi kau tidak pernah mengecewakan orang dengan memenuhi segala permintaan. Kau sangat baik. Maukah kau menjadi pacarku?”, aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Waahh! Beneran? Asyik! Cepat sembuh, ya! Ayo kita jalan! Hahaha”

“Dasar kau, setelah jadi pacar kau baru mendo’akanku cepat sembuh? Teman macam apa kau ini?

“Hahaha… becanda, aku pasti akan selalu mendp’akan kesehatanmu, kok. Hahaha”

“Huh! Bohong!”

“Bener, kok, serius!”, ucapnya sambil mengelus kepalaku.

Aku hanya munjulurkan lidah sebagai pertanda mengoloknya,hahaha.

The End